Jangan Salah Pilih BPR untuk Kredit anda !! Kredit DI BPR AMIRA Terjamin Keamanannya !

Petugas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan kepada pengunjung ajang Pasar Keuangan Rakyat di Lapangan Merdeka Medan, Sumatra Utara, Kamis (27/10). OJK memaparkan, tindak pidana perbankan banyak terjadi di BPR.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) rentan terhadap kejahatan pidana perbankan alias fraud. Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kasus pidana perbankan di Indonesia masih cukup tinggi.

Hingga akhir triwulan III-2016, OJK mencatat ada 26 kasus tindak pidana perbankan. Angka tersebut tumbuh jika dibandingkan dengan jumlah tindak pidana tahun lalu yang sebanyak 23 kasus, namun turun jika dibandingkan dengan 2014 yang mencapai 59 kasus.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Nelson Tampubolon, menyatakan, tindak pidana yang paling banyak ditangani oleh OJK ialah kasus kredit dengan persentase 55 persen, sedangkan rekayasa pencatatan 21 persen, penggelapan dana 15 persen, transfer dana lima persen, dan pengadaan aset empat persen.

Nelson menyebutkan tindak pidana perbankan paling banyak terjadi di BPR. Sebanyak 80 persen tindak pidana yang terjadi di BPR. Akibatnya, banyak BPR di Indonesia gulung tikar setiap tahunnya.

Kenapa BPR rentan terhadap perbankan?

Hingga kini OJK mencatat ada lebih dari 1.800 BPR di Indonesia. Banyaknya BPR yang beroperasi di Indonesia membuat pengawasan BPR lebih sulit dibandingkan dengan pengawasan bank umum. Bandingkan dengan bank umum yang jumlahnya hanya 118 bank.

Dari segi aset, BPR juga memiliki aset yang relatif lebih kecil dibandingkan bank umum, sehingga seringkali dalam pengawasan terhadap BPR tidak terlalu ketat. Karena ukurannya juga kecil BPR diperiksa setahun sekali. Tapi dalam pengawasan tidak seketat seperti bank-bank umum.

“Jadi kemungkinan terjadinya pidana perbankan di BPR itu jadinya lebih tinggi,” ujar Nelson, seperti dikutip dari FinanceDetik, Senin (14/11).

Mei lalu, Baik OJK maupun Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) menyatakan bahwa kebanyakan BPR yang dicabut izin usahanya bukan karena kalah dalam persaingan, melainkan lebih disebabkan pidana yang dilakukan pengurus BPR. Salah satunya, karena BPR tidak melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG).

“Tidak adanya penerapan GCG dan manajemen risiko membuat banyak BPR melakukan kecurangan atau fraud sehingga banyak BPR yang ditutup operasinya,” ujar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II OJK, Budi Armanto seperti dikutip dari infobanknews.com.

Nelson menyatakan, garda utama untuk mencegah tindak pidana perbankan ada harus berasal dari internal BPR. “Garda utama dan kedua itu internal, ketiga baru pengawas. Jadi pengawasan dari internalnya harus ditingkatkan,” ujar Nelson.

Dalam Rakernas Perbarindo, di Kendari, Senin (19/10) lalu Ketua Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Perbankan Heru Kristiana mengatakan setiap aturan yang dibuat OJK lebih ditekankan untuk memperkuat GCG agar bisa mengamputasi terjadinya tindakan pengelola yang membuat BPR itu jatuh. “Karena itu kami meminta manajemen BPR mampu menerapkan sistem pengawasan internal andal dan efektif, serta dapat mengoptimalkan peran pengawas tersebut,” kata dia.

Dalam studi Perbarindo Februari lalu diketahui, pelaku tindak pidana perbankan di BPR memang didominasi dari internal BPR. Modus yang digunakan meliputi, tidak mencatat setoran nasabah, teller menarik dana nasabah, direktur atau pegawai bank meminta uang kepada debitur, rekayasa pemberian kredit, hingga debitur menerima dana dua kali.


Kenapa BPR rentan pidana perbankan?